PENGARUH KENAIKAN HARGA SEMBAKO TERHADAP PERILAKU
KONSUMSI MASYARAKAT KECIL
(Tugas Terstruktur Pengantar Ilmu Ekonomi)
Oleh :
M. Yudhi Guntara Eka Putra
1214121116
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Harga
pangan global naik pada Maret 2012, dalam tiga bulan berturut-turut kenaikan
terjadi pada harga biji-bijian dan minyak nabati. Kenaikan harga pangan dipicu
oleh kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pemerintah
berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai 1 April mendatang.
Dampak dari kenaikan harga BBM itu, dipastikan harga pangan akan naik, sehingga
beban kehidupan masyarakat akan semakin berat. Kenaikan harga BBM dipastikan
akan berpengaruh pada harga sembako. Dengan demikian, daya beli masyarakat akan
menurun. Padahal, sembako adalah kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi
setiap hari. “Kalau BBM sudah naik, pasti beras naik, minyak goreng naik, gula
naik, dan barang-barang lainnya juga naik,”. kenaikan harga BBM yang akan
dilakukan karena seolah-olah pemerintah tak punya opsi lain. Padahal, jika
pemerintah mau serius, masih ada opsi lain yang bisa ditempuh agar harga BBM
tidak terus naik. Kesimpulannya, manajemen energi Indonesia memang butuh banyak
pembenahan. Opsi yang seharusnya dilakukan pemerintah sejak dulu, adalah
mengolah minyak hasil dalam negeri sendiri, terutama untuk minyak tanah dan
premium. Sudah saatnya mengolah minyak tanah sendiri. Indonesia harus punya
banyak mesin pengolahan minyak. APBN kita yang sebesar 1.435 Triliun cukup
untuk itu. Ini untuk kepentingan jangka panjang.
Sejumlah
kebutuhan pokok khususnya pangan di berbagai daerah sejak ditundanya kenaikan
harga BBM pekan ini mulai menunjukkan kenaikan. Kebutuhan pangan, seperti
cabai, beras, bawang merah dan putih, daging dan telur ayam, gula pasir, naik
sekitar 30-75% bahkan bisa mencapai dua kali lipat dengan kalau dilihat dari
faktor musim dan yang meningkat tajam adalah cabai keriting dan cabai merah
dengan lonjakan harga hingga mencapai dua kali lipat.
Praktek
nya dalam ilmu-ilmu Ekonomi, harga merupakan salah satu faktor utama-- meskipun
bukan faktor satu-satunya yang mempengaruhi pilihan pembeli. Harga menjadi
faktor utama pilihan pembeli semakin terlihat di antara kelompok-kelompok
miskin. Namun, harga bukan menjadi faktor utama pilihan pembeli bagi masyarakat
yang mampu/kaya. Namun, teori ini hanya berlaku bagi produk-produk di luar
kebutuhan bahan pangan. Untuk kebutuhan bahan pangan yang termasuk kebutuhan
primer, akan memiliki dampak garis lurus dengan turunnya pembelian pada
kebutuhan sekunder dan pertumbuhan ekonomi.
Singkat
kata kita bisa lihat dari situasi pasar dan kondisi pasar yang begini beberapa
gambaran. Pertama, Jika harga barang primer meningkat, sementara
pendapatan tetap, akan menyebabkan harga barang sekunder pun akan meningkat. Kedua,
Pembelian terhadap barang sekunder pun akan menurun. Ketiga, Perubahan
harga barang konsumsi menyebabkan tingkat substitusi (pergantian) terhadap
barang konsumsi akan berubah pula.
Dari 3
gambaran yang sudah dijelaskan, dapat dilihat kasusnya di masyarakat, di mana
pada saat cabai rawit harganya meningkat maka pedagang makanan yang banyak
menggunakan cabai akan menggantikannya dengan cabai oplosan atau mengurangi
kadar cabainya.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas, maka harga kebutuhan primer harus dikendalikan oleh pemerintah. Jika tidak, maka akan terjadi kelesuan ekonomi negara, yang berimbas pada penurunan daya saing produk lokal dan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas, maka harga kebutuhan primer harus dikendalikan oleh pemerintah. Jika tidak, maka akan terjadi kelesuan ekonomi negara, yang berimbas pada penurunan daya saing produk lokal dan penurunan pertumbuhan ekonomi.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa Dampak yang dirasakan dari kenaikan harga kenaikan harga bahan paku
pangan ?
2.
Bagaimana cara bijak untuk menanggulangi kenaikan harga bahan baku pangan
tersebut?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penulisan adalah sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat
kecil di Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga Sembako
2. Untuk
mengetahui bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga Sembako pada kondisi masyarakat kecil di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa-apa saja dampak
kenaikan bahan sembako menjelang bulan Ramadhan yang terjadi pada masyarakat
kecil
BAB II
PENYAJIAN DATA
DAN PEMBAHASAN
2.1 Penyajian
data
Sudah jamak terjadi menjelang hari
besar agama, kenaikan harga akan terjadi. Untuk ke sekian kalinya kisah itu
berulang. Seminggu sebelum puasa, harga-harga sembilan kebutuhan pokok
(sembako) pelan tapi pasti merangkak naik. Dari pemantauan di lapangan,
kenaikan harga dengan persentase bervariasi, antara lain: komoditas ayam
potong, telur ayam, daging, sapi, gula pasir, ketan hitam dan ketan putih,
kacang tanah serta tepung terigu. Sementara itu, sayuran yang naik harganya,
misalnya, buncis, kembang kol, kentang, wortel, cabai, bawang putih, bawang
merah, kemiri, dan jeruk limau.
Fenomena yang menarik, kenaikan harga
tersebut bukan disebabkan stok produksi yang terbatas, melainkan aksi spekulasi
pedagang untuk meraih keuntungan saat permintaan naik (Kompas, 11/09).
Padahal, produsen makanan dan minuman, melalui Gabungan Pengusaha Makanan dan
Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), menginformasikan bahwa untuk mengantisipasi
permintaan menjelang puasa produksi ditingkatkan 20%-25% dari biasanya. Harga
jual pun dipertahankan agar stok tidak menumpuk di gudang.
Pemerintah melalui Departemen
Perdagangan pun merespons kenaikan harga tersebut dengan menggelar pasar murah
atau operasi pasar. Akan tetapi, pasar murah itu bukan untuk menurunkan harga,
melainkan lebih menitikberatkan menolong orang miskin.
Perilaku konsumen
Kenaikan harga sembako itu seharusnya
menjadi bahan refleksi konsumen, bukan lantas menyalahkan pemerintah maupun
produsen. Jika dikaji lebih teliti, kenaikan harga itu karena rangsangan
konsumen yang meningkatkan permintaannya sebagai dampak psikologis menyambut
puasa. Momentum itu dimanfaatkan pedagang besar untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya melalui spekulasi.
Hipotesisnya, seorang konsumen dalam
berperilaku ekonomi sebagai berikut, pertama, mampu membuat rangking (urutan)
jenis barang dari 'yang disukai' sampai 'tidak disukai' atau indiferen. Yakni
kedua barang memberikan kepuasan yang sama (completeness). Kedua,
konsisten terhadap pilihannya. Artinya, apabila barang satu lebih disukai
daripada barang dua, konsumen akan konsisten terhadap pilihannya, tetap
mempertahankan preferensinya tersebut (making consistent choices).
Ketiga, transitif, yaitu jika barang satu lebih disukai daripada barang dua,
dan barang dua lebih disukai daripada barang tiga, barang satu akan lebih
disukai daripada barang tiga (transitivity). Keempat, kelebihan lebih
disukai daripada kekurangan. Dalam hal ini 'kuantitas lebih banyak' lebih
disukai daripada 'kuantitas lebih sedikit' (more is prefered to less).
Peningkatan permintaan konsumen sebagai
stimulator kenaikan harga sembako tidak hanya didukung perilaku konsumen
tersebut, tetapi diperkuat Survei Anggaran Pengeluaran Indonesia yang dilakukan
BPS. Dalam survei itu disimpulkan adanya generalisasi dalam pola konsumsi
masyarakat Indonesia. Pertama, pada tingkat pendapatan rendah, konsumen
perseorangan akan membelanjakan proporsi yang besar dari pendapatannya untuk
konsumsi, bahkan mungkin terjadi pembelanjaan yang lebih besar daripada
pendapatannya. Kedua, pada tingkat pendapatan rendah, proporsi yang
dibelanjakan untuk pangan lebih tinggi. Pada pendapatan yang lebih tinggi,
proporsi itu akan semakin menurun, sedangkan proporsi pengeluaran untuk barang
konsumsi lainnya akan mengalami kenaikan.
Antara Konsumsi dan Konsumerisme
Secara implisit, kenaikan harga
mengajarkan agar konsumen dalam pemenuhan pangan harus berdasar pada kebutuhan,
bukan keinginan. Kalau dituruti, keinginan manusia tidak berbatas, sedangkan
ketersediaan sumber daya terbatas. Sebagai konsumen, hendaknya melakukan
pemilihan yang cerdas, dengan tidak mengonsumsi secara berlebihan. Seperti
dikatakan Marshall Sahlins (2001), sesungguhnya konsumsi itu merupakan tragedi
ganda, yang berawal dalam kekurangan akan berakhir dalam ketiadaan. Kekeliruan
mendasar masyarakat konsumsi terletak pada asumsi bahwa alam merupakan variabel
tetap, sesuatu yang tidak akan habis.
Selama ini, faktor pendorong kenaikan konsumsi lebih
ditentukan gaya hidup. Demi hidupnya, manusia butuh konsumsi. Namun, ketika
konsumsi menjadi tujuan hidup, ia bergeser menjadi konsumerisme (Juliawan,
2005). Implikasinya, terjadi naturalisasi konsumerisme, seolah-olah
konsumerisme merupakan bagian dari hakikat kodrati manusia, berada di luar jangkauan
kehendak bebas, dan karena itu pula bebas dari penilaian moral.
Etika ekonomis memang memandang milik pribadi atas barang
yang tersedia sebagi perluasan dari kebebasan manusia. Tata milik pribadi
manusia atas barang-barang material dipandang 'kodrati'. Artinya, pemenuhan
kebutuhan (kepuasan) dipandang sebagai hak kodrati manusia. Dalam konteks ini,
Sindhunata menambahkan, sebagai manusia adalah pribadi, dengan demikian ia
melampaui segala barang yang tersedia baginya, akan tetapi tidak boleh
diperbudak olehnya.
Akhirnya, kenaikan harga sembako hendaknya dimaknai
sebagai peringatan dini bagi konsumen bahwa populasi manusia semakin tinggi
yang diikuti peningkatan kebutuhan pangan sedangkan lahan pengolahan akan
semakin turun produktivitasnya (the law of diminishing return). Konsumsi
berlebihan hanya akan berujung pada kekurangan, yang akhirnya kepunahan. Hidup
sederhana harus diterapkan. Perhatian harus dipusatkan pada standar minimum,
bukan lagi standar layak atau malah standar yang tinggi. Relevan kiranya
berbuka puasa pun tidak harus dengan menu yang bervariasi, yang penting
bergizi.
2.2
Pembahasan
Keputusan
sidang paripurna DPR yang menunda kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
ternyata tidak membuat harga bahan kebutuhan bahan mentah pangan terkoreksi ke
harga normal. Harga terus melambung tinggi menunjukan pemerintah tidak memiliki
sistem yang jelas tentang tata niaga kebutuhan pokok. "Harga kebutuhan
pokok yang tetap melambung tinggi menunjukan pemerintah tidak pernah serius
dalam menata sistem perekonomian nasional, salah satunya terkait tata niaga
kebutuhan pokok," kata Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar dalam
keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (2/4/2012).
Selain
karena terjadinya krisis pangan dan juga krisis keuangan yang terjadi
diberbagai Negara di seluruh dunia, factor lain yang menyebabkan terjadinya
kenaikan harga sembako yaitu karena adanya Kenaikan harga minyak mentah dunia yang
menjadi alasan bagi pemerintah dalam mendorong perubahan APBN-P 2012 untuk
subsidi BBM. Kemudian, kenaikan harga bahan pokok yang terjadi saat ini bukan
hanya karena spekulan atau adanya penimbunan barang.
Di
sisi lain murni karena adanya ketidakpastian harga BBM. Sehingga banyak
distributor yang menunda belanja pasokan sambil menanti keputusan naik atau
tidaknya harga BBM. Dua situasi diatas menunjukkan bahwa sistem kita sangat
rapuh, sehingga mudah sekali dipengaruhi faktor eksternal.
Sejumlah kebutuhan pokok di berbagai daerah selama dua pekan
ini mulai menunjukkan kenaikan. Kebutuhan pokok, seperti beras, bawang
merah, bawang putih, daging, telur ayam, dan gula pasir, naik sekitar 30 %
hingga 75%. Yang mengalami peningkatan paling tajam adalah cabai keriting dan
cabai merah dengan lonjakan harga hingga dua kali lipat. Dalam teori ilmu
ekonomi, harga merupakan salah satu faktor utama, meskipun bukan faktor
satu-satunya yang mempengaruhi pilihan pembeli. Harga menjadi faktor utama
pilihan pembeli bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Namun, harga bukan
menjadi faktor utama pilihan pembeli bagi masyarakat yang mampu atau kaya. Dan
dapat dikatakan bahwa:
o Jika harga barang primer meningkat,
sementara pendapatan tetap, akan menyebabkan harga barang sekunder meningkat.
o Pembelian terhadap barang sekunder
akan menurun.
o Perubahan harga barang konsumsi menyebabkan tingkat
substitusi (pergantian) terhadap barang konsumsi akan berubah.
Dapat dilihat kasusnya di
masyarakat, dimana pada saat cabai rawit harganya meningkat, pedagang makanan
yang banyak menggunakan cabai akan menggantinya dengan cabai oplosan atau
mengurangi kadar cabainya. Dengan demikian, harga kebutuhan primer harus
dikendalikan oleh pemerintah. Jika tidak, maka akan terjadi kelesuan ekonomi
negara yang berimbas pada penurunan daya saing produk lokal dan penurunan
pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan
komoditas pangan pokok terjadi di berbagai pasar di Indonesia, salah satunya di
Pasar Depok Jaya, cabai rawit justru terus mengalami kenaikan. Pada Kamis 29
Maret harga cabai rawit sebesar Rp50 ribu per kilogram.
Kini
harga cabai rawit tersebut justru semakin naik menjadi Rp60 ribu per kilogram.
Kenaikan juga terjadi pada bawang putih dari Rp12 ribu per kg menjadi Rp18 ribu
per kg. Harga gula putih mengalami kenaikan sejak tiga minggu yang lalu menjadi
Rp12 ribu per kg. Begitu juga dengan harga minyak goreng yang sebelumnya naik
menjadi Rp11 ribu per kg. Sedangkan di Pasar Anyar Bogor, harga daging ayam
sejak beberapa hari terakhir, harganya naik menjadi Rp27 ribu per kg dari
biasanya Rp25 ribu. Hal serupa terjadi pada daging sapi, yakni Rp70 ribu per kg
dari Rp65 ribu.
2.2.1
Dampak yang dirasakan dari kenaikan harga bahan paku pangan
Lonjakan
harga pangan sepanjang Maret 2012 telah menyurutkan rasa optimisme
masyarakat terhadap perekonomian Indonesia. Tak hanya itu, konsumen melihat
tiga bulan mendatang harga barang bakal terus melambung tinggi.
Survei
DRI menggambarkan perilaku konsumen sudah pesimistis sejak enam bulan
silam. Kini rasa pesimistis itu sudah menyentuh dasar yakni di angka 84,8.
Penyumbang
rasa pesimistis adalah menghadapi situasi sekarang. Indeks situasi sekarang
melorot ke level 70,2 pada Maret, padahal Februari masih di posisi 77,2. Tak
hanya itu, tingkat kepercayaan terhadap pemerintah juga terus merosot. Februari
lalu, angkanya di 80,3. Maret 2012 berada di 76,1.
Menanggapi
hasil survei ini, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengakui kenaikan harga
barang menurunkan tingkat kepercayaan konsumen. Harga bahan pangan naik akibat
rencana kenaikan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi 1 April 2012.
Celakanya, kendati BBM urung naik, harga barang telanjur melambung.
Karena
itu kini pemerintah tengah berupaya mengembalikan kepercayaan konsumen.
"Ini kan sesuatu yang memang sedang kami tangani. Rencana kenaikan harga
BBM, walau batal naik, membuat ekspektasi inflasi. Ini harus dilawan”.
Frustasi meningkat, catatan lain yang perlu menjadi
perhatian pemerintah adalah rasa frustasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi
saat ini meningkat. Survei menunjukkan masyarakat makin pesimistis bisa
mendapatkan pekerjaan akibat minimnya jumlah lapangan kerja. Masyarakat melihat
penghasilannya akan merosot akibat kenaikan harga BBM yang tercermin pada
penurunan indeks penghasilan konsumen.
Kini
pemerintah punya tugas tambahan selain menjaga APBN-P; memulihkan kepercayaan
dan optimisme masyarakat dengan aksi nyata.
2.2 Cara
bijak untuk menanggulangi kenaikan harga bahan baku pangan
Solusi
yang dapat ditawarkan untuk meredam faktor ekspektasi positif ini mungkin bisa
diharapkan dari opesari pasar dan pelaksanaan pasar murah di beberapa titik
konsumsi di seluruh Indonesia. Pemerintah berencana akan melaksanakan pasar
murah serentak di 50 titik konsumsi atau kota besar di seluruh Indonesia.
Operasi pasar seperti ini dapat bermanfaat untuk mengendalikan faktor
psikologis pasar yang dipicu oleh ”ekspektasi positif” seperti disebutkan di
atas, agar kenaikan harga pangan tidak terjadi secara permanen.
Pada
saat operasi pasar murah, pemerintah dapat menyampaikan pesan kepada spekulan
tentang keseriusan upayanya dalam menjaga stabilisasi harga pangan pokok.
Sasaran pasar murah dapat dibagi mejadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
masyarakat umum dan konsumen di kota besar, yang telah demikian berat harus
menanggung kenaikan harga pangan secara bersamaan.
Kelompok
kedua adalah masyarakat miskin yang hidup di kantong-kantong kemiskinan di
perkotaan (dan perdesaan). Sasaran pasar murah bagi kelompok kedua ini hanya
akan efektif apabila dilaksanakan secara terpadu dengan tingkatan pemerintah
yang paling bawah, dalam hal ini Kepala Desa, beserta aparat Rukun Warga dan
Rukun Tetangga, yang seharusnya memiliki informasi lengkap tentang status warga
miskin di wilayah kerjanya.
Faktor
kedua pemicu kenaikan harga pangan adalah kinerja pasokan yang sedikit
terganggu, walau pemerintah berkali-kali membantah bahwa pasokan pangan aman
dan terkendali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem
distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana
transportasi banyak rusak. Beberapa media nasional dan daerah melaporkan rusaknya
jalan di beberapa ruas di Pantai Utara Jawa, buruknya jalan Lintas Tengah dan
Lintas Timur di Sumatera, sebagai dua poros utama jalru distribusi pangan.
Sebagaimana diketahui, aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan
Sumatra merupakan 84 persen penyumbang terhadap kinerja ekonomi nasional atau
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Betapa besar dan dahsyatnya apabila
sarana infrastruktur di Jawa dan Sumatra terganggu. Dampak buruk yang
ditimbulkannya tidak hanya ditanggung konsumen di perkotaan, tetapi juga harus
ditanggung oleh petani di pelosok perdesaan. Kenaikan harga pangan kali
ini sedikit sekali yang dapat dinikmati petani karena persentase kenaikan harga
di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan
harga di tingkat produsen.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi faktor produksi dan
distribusi ini adalah peningkatan produksi pangan dan pertanian yang diikuti
dengan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur vital, terutama jalan
negara sampai jalan desa. Peningkatan produktivitas pangan (per satuan lahan
dan per satuan tenaga kerja) wajib menjadi acuan strategi kebijakan, karena
Indonesia tidak dapat mengandalkan cara-cara konvensional dan sistem budidaya
yang telah diadopsi selama 40 dekade terakhir.
Pada
aspek distribusi, selain upaya pemberantasan atau pengurangan pungutan resmi
dan tidak resmi terhadap perdagangan komoditas pangan, perbaikan jaringan jalan
dan infrastruktur vital lain menjadi sesuatu yang hampir mutlak. Rencana
perbaikan jalan negara, jalan provinsi, kabupaten, sampai pada jalan desa dan
jalan produksi usahatani, wajib segera diwujudkan. Masa-masa mudik menjelang
lebaran adalah momentum yang tepat untuk segera merealisasikan tender beberapa
proyek infrastruktur yang tertunda karena menunda kepastian pengesahan Anggaran
Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Kenyataan
di lapangan, walaupun APBN-P tersebut telah disahkan, para aparat birokrasi
yang terlalu hati-hati masih sering memberikan alasan yang sulit diterima akal
sehat untuk tidak segera merealisasikan proyek infrastruktur yang terbengkalai.
Misalnya, mereka berargumen masih menunggu kepastian pembiayaan beberapa tahun
(multi-years) yang akan ditetapkan pada APBN 2011 mendatang. Maksudnya,
para pemimpin di tingkat pusat dan daerah wajib memberikan pengarahan kepada
staf dan anak-buah agar segera memberikan prioritas perbaikan sekian macam
infrastruktur ekonomi sangat vital itu. Tindakan tegas terhadap mereka yang
melakukan harus dibuat.
Faktor
ketiga yang memicu kenaikan harga pangan adalah perubahan iklim atau tepatnya
musim kemarau basah yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai November
2010. Gangguan produksi memang tidak terlihat pada musim panen raya padi
April-Mei lalu, walaupun hal itu tidak berarti bahwa kualitas gabah akan lebih
baik karena musim panen yang basah akan selalu meningkatkan butir mengapur dan
derajat patah yang semakin tinggi. Akibat berikutnya, petani tidak menerima
harga jual gabah yang layak, walaupun sebenarnya masih lebih tinggi
dibandingkan harga jual gabah tahun-tahun sebelumnya.
Dengan
harga faktor produksi yang juga ikut meningkat, maka tingkat keuntungan relatif
petani padi di Indonesia juga tidaklah terlalu tinggi. Demikian pula, rendahnya
pasokan cabe dan produk hortikultura lain juga ikut memicu eskalasi harga
komoditas penting bagi konsumsi rumah tangga dan industri kuliner Indonesia.
Ancaman fenomena bulan basah La Nina masih akan mengganggu dan meningkatkan
harga eceran pangan pokok pada siklus panen raya tahun 2011, sehingga Indonesia
wajib melakukan analisis penilaian risiko (risk assessment)
terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan faktor eksternal tersebut.
Analisis
serupa juga wajib dilakuka terhadap beberapa komoditas pangan Indonesia yang
berasal dari impor, terutama gandum, karena beberapa negara produsen gandum di
Eropa Timur mengalami gangguan musim kemarau yang diperkirakan mengurangi
produksi dan cadangan gandum dunia secara signifikan.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk menanggulangi faktor
perubahan iklim ini memang tidak ada yang berdimensi jangka pendek, karena
proses adaptasi dan mitigasi memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang
relatif lama. Namun demikian, strategi penguatan cadangan pangan di tingkat
pusat melalui Perum Bulog, serta di daerah melalui divisi regional dan
sub-regional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan langkah
penting dalam jangka menengah.
Paling
tidak, untuk menjaga tingkat aman dan stabilitas harga pangan yang lebih
berkelanjutan, cadangan beras yang dikuasai Bulog harus di atas 1,5 juta ton
atau lebih. Cadangan beras pemerintah (CBP) di bawah 1 juta ton bukan angka
yang aman dalam mengantisipasi eskalasi harga pangan pokok. Artinya,
penanggulangan lonjakan harga pangan ini memerlukan kombinasi solusi jitu pada
tingkat keputusan politik dengan presisi tinggi pada tingkat teknis ekonomis.
Persoalan pangan dan kebutuhan pokok lain bukan ajang eksperimen pencitraan
para pemimpin, tetapi merupakan uji kepatutan dan hati nurani kaum elit di
negeri ini yang pantas disebut negarawan dan orang yg memiliki keyakinan.
Faktor lain yang mempengaruhi
kenaikan harga adalah faktor pedagang. Kenaikan beras misalnya, selain dipicu
oleh faktor permintaan dan penawaran, juga dipicu oleh permainan para pedagang
atau tengkulak, dimana petani lebih memilih menjual ke pasar bebas daripada
menjual kepada Bulog. Hal itu terjadi karena harga GKP (Gabah Kering Panen) dan
GKG (Gabah Kering Giling) di pasar bebas lebih tinggi daripada harga GKP dan
GKG yang dipatok oleh Bulog.
Secara keilmuan memang menjelaskan bahwa harga di pasar
sangat dibentuk oleh mekanisme permintaan dan penawaran. Logikanya, jika
permintaan meningkat sementara penawaran sedikit maka harga dapat melambung
tinggi, begitu pun sebaliknya. Inilah yang mungkin mendasari pemerintah
dalam merespon fenomena kenaikan harga menjelang hari raya menganggap sebagai
hal biasa.
Ada beberapa solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi
permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut:
1.
Solusi yang pertama untuk dapat meredam faktor ekspektasi positif bisa
diharapkan dari operasi pasar dan pelaksanaan pasar murah di beberapa pasar di
seluruh Indonesia. Pemerintah berencana akan melaksanakan pasar murah secara
serentak di 50 titik konsumsi atau kota besar di seluruh Indonesia. Operasi
pasar seperti ini dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan faktor psikologis
pasar yang dipicu oleh ekspektasi positif agar kenaikan harga pangan tidak
terjadi secara permanen. Pada saat operasi pasar murah, pemerintah dapat
menyampaikan pesan kepada spekulan tentang keseriusan upaya dalam menjaga
stabilisasi harga pangan pokok. Sasaran pasar murah dapat dibagi mejadi
dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat umum dan konsumen di kota
besar, sedangkan kelompok kedua adalah masyarakat menengah ke bawah yang hidup
di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Sasaran pasar murah
bagi kelompok kedua ini hanya akan efektif apabila dilaksanakan secara terpadu
dengan tingkatan pemerintah yang paling bawah, yaitu kepala desa beserta aparat
rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT)
yang seharusnya memiliki informasi lengkap tentang status warga miskin
di wilayah kerjanya.
2. Solusi kedua yang dapat ditawarkan untuk mengatasi
masalah faktor produksi dan distribusi pangan adalah peningkatan produksi
pangan dan pertanian yang diikuti dengan perbaikan sarana dan prasarana
infrastruktur vital, terutama jalan negara sampai jalan desa. Pada aspek
distribusi, selain upaya pemberantasan atau pengurangan pungutan resmi dan
tidak resmi terhadap perdagangan komoditas pangan, perbaikan jaringan jalan dan
infrastruktur vital lain menjadi sesuatu yang hampir mutlak. Rencana perbaikan
jalan negara, jalan provinsi, jalan kabupaten, sampai pada jalan desa dan jalan
produksi usaha tani, wajib segera diwujudkan. Masa-masa mudik menjelang hari
raya adalah momentum yang tepat untuk segera merealisasikan tender beberapa proyek
infrastruktur yang tertunda.
3. Solusi berikutnya adalah tidak ada yang berdimensi jangka
pendek, karena proses adaptasi memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang
relatif lama. Namun, strategi penguatan cadangan pangan di tingkat pusat
melalui Perum Bulog, serta di daerah melalui divisi regional dan sub-regional
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan langkah penting dalam
jangka menengah. Paling tidak, untuk menjaga tingkat keamanan dan stabilitas
harga pangan yang lebih berkelanjutan, cadangan beras yang dikuasai Bulog harus
di atas 1,5 juta ton atau lebih.
4. Solusi keempat dapat dilakukan dengan cara memberikan
pendampingan atau penyuluhan yang serius terhadap para petani terkait budidaya
produk-produk pertanian. Pendampingan yang dimaksud dapat berupa pembekalan
pengetahuan teknologi penanaman, pemeliharaan, dan antisipasi terhadap
perubahan iklim. Langkah ini sesuai dengan kondisi bumi yang terus mengalami
penurunan dengan munculnya isu global
warming atau pemanasan global yang menyebabkan iklim tidak mudah
diprediksi. Para petani Indonesia, mayoritas masih menggunakan teknologi dan
sistem penanaman tanaman yang konvensional. Sebagai contoh, Dinas Pertanian DKI
Jakarta pada tahun 2006 mencatat tidak kurang 275 ton sayur mayur dipasok ke
Jakarta per hari, dan pada tahun 2010 jumlahnya akan semakin besar. Hanya
sebagian kecil produk sayuran yang dihasilkan oleh petani di DKI Jakarta.
Kecilnya produksi sayuran yang dihasilkan di DKI Jakarta terutama disebabkan
semakin sempitnya lahan pertanian. Teknologi yang dapat diterapkan untuk
mengatasi masalah tersebut di antaranya adalah dengan terus meningkatkan penggunaan
teknologi hidroponik, yakni dari teknologi budidaya berbasis lahan menjadi
teknologi berbasis non lahan. Tanaman tidak ditanam di tanah melainkan budidaya
tanam tanpa tanah atau soilless culture
digantikan dengan air. Tidak menutup kemungkinan dikembangkan pula
teknologi-teknologi lain yang dapat menjawab permasalahan ketidakpastian iklim
dan kesuburan tanah. Melalui penerapan teknologi terkini pada produk pertanian
memungkinan lebih terjaminnya faktor penawaran, sehingga di masa mendatang
masalah siklus tahunan yang terkait dengan masalah penawaran bukan lagi masalah
yang terus menghantui masyarakat. Secara payung hukum, untuk masalah penyuluhan
pertanian telah ditetapkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Namun UU ini belum dilaksanakan
secara maksimal. Padahal, dalam Pasal 27 telah disebutkan mengenai Materi
Penyuluhan. Pasal 1 menyebutkan bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan
kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan
kemanfaatan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Pada Pasal 2 juga ditegaskan bahwa materi berisi tentang unsur ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dalam Pasal 28 disebutkan bahwa untuk penerapan materi teknologi
dalam materi penyuluhan diperlukan rekomendasi dari menteri pertanian.
5. Solusi kelima terkait dengan kebijakan perdagangan.
Masalah perdagangan, baik barang primer atau kebutuhan pokok maupun sekunder di
dalam negeri belum memiliki payung hukum yang memadai. Hal ini terbukti belum
ada UU khusus tentang perdagangan, sehingga praktek tengkulak masih banyak
dijumpai dalam perdagangan produk pertanian. RUU Perdagangan saat ini telah
masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan akan segera dibahas oleh
Pemerintah dan DPR. Hal ini untuk menjawab masalah mengenai kepastian hukum
dalam masalah perdagangan. Peraturan ini akan menggantikan tiga
undang-undang kuno yang selama ini mengatur soal perdagangan di negeri ini.
Ketiga undang-undang (UU) itu adalah Bedrijfsreglementeerings Ordonnantie Tahun
1934, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 86 tentang Penyaluran Perusahaan, UU Nomor 10
Tahun 1961 tentang Barang dan UU Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pergudangan. Hal
ini disebabkan tiga UU kuno itu sudah tak lagi cocok dengan kondisi sekarang.
Dengan UU Perdagangan, peraturan teknis perdagangan akan semakin jelas. Selain
itu, pemerintah menjamin pelaku usaha tidak mendapat hambatan dari pemerintah
daerah dalam melakukan transaksi. UU Perdagangan kelak akan mengatur berbagai
hal, di antaranya perlindungan perdagangan, kerjasama internasional, praktek
dagang yang dilarang standardisasi, transaksi elektronik, serta sanksi bagi
pelaku usaha yang melanggar aturan perdagangan.
6. Solusi keenam untuk stabilisasi harga beras khususnya, diperlukan
penguatan peran Bulog. Menurut Inpres Nomor 13 Tahun 2005, ada tiga tugas pokok
Perum Bulog dalam tatanan kebijakan nasional. Pertama, pelaksanaan pembelian
gabah oleh pemerintah secara nasional dengan harga sesuai Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Kedua, menyediakan dan menyalurkan beras untuk rakyat miskin
(raskin). Ketiga, pengelolaan cadangan beras pemerintah. Terkait masalah HPP,
menurut instruksi presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2008 tentang Kebijakan
Perberasan yang mulai berlaku per 1 Januari 2009, HPP Gabah Kering Panen (GKP)
di tingkat petani Rp. 2.400,- per kg. Sementara HPP Gabah Kering Giling (GKG)
di penggilingan Rp. 3.000,- per kg. Petani lebih memilih menjual langsung ke
pasar atau ke tengkulak yang berani membayar lebih mahal dari HPP yang telah
ditetapkan pemerintah, GKP sebesar Rp. 3.100,- per kg dan GKG mencapai Rp.
4000,- per kg. Untuk mengatasi masalah HPP tersebut, diperlukan payung hukum
yang lain yang dapat dijadikan instrumen penentuan HPP, bukan dipatok harganya
tetapi menggunakan rasio dari neraca beras (perbandingan antara hasil panen
dengan kebutuhan masyarakat). Penguatan peran Bulog dalam arti lain adalah
penguatan dari segi status. Sebelum berubah menjadi Perum, Bulog memiliki peran
signifikan sebagai penyangga beras nasional. Awalnya, status hukum Bulog adalah
sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan Keppres RI No. 39
tahun 1978. Namun, sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997
timbul tekanan yang sangat kuat agar peran pemerintah dipangkas secara drastis
sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut terutama muncul dari negara-negara
maju pemberi pinjaman khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti
IMF dan World Bank. Isu mengenai pengembalian status hukum Bulog masih dikaji
baik di tingkat pemerintah maupun di DPR. Di Komisi VI DPR sendiri, pada
beberapa RDP (Rapat Dengar Pendapat), banyak disinggung mengenai hal ini.
Semangat utamanya adalah agar Bulog dapat berperan seperti pada masa dahulu
khususnya dalam menstabilkan harga beras. Bentuk status hukum yang idealnya
seperti apa masih dalam tahap kajian dan pendalaman.
7. Solusi ketujuh adalah terkait dengan faktor efek
psikologis kenaikan TDL. Listrik merupakan pasokan energi utama bagi sektor
industri. Kenaikan TDL memiliki imbas langsung pada beban operasional
perusahaan. Namun, tidak dipungkiri bahwa PLN merupakan perusahaan BUMN yang
selalu merugi dan mendapat subsidi besar. Kenaikan TDL adalah salah satu cara
untuk memberikan peluang bagi PLN untuk dapat beroperasi secara layak. Meskipun
demikian, saat ini masalah kenaikan TDL masih dikaji ulang di DPR, khususnya di
Komisi VI dan VII. Di Komisi VI sendiri telah dilakukan audiensi/RDPU dengan berbagai
kalangan pengusaha di berbagai sektor mengenai dampak kenaikan TDL, sehingga
diperoleh rekomendasi yang bersifat win-win
solution antara kepentingan PLN dan kepentingan masyarakat.
Sayangnya, selama ini pemerintah belum terlihat melakukan
tindakan signifikan untuk mengatasi masalah kenaikan harga sembako pada hari
raya. Pemerintah masih terlihat adem ayem dan menganggap fenomena ini merupakan
hal biasa menjelang hari raya. Pemerintah hanya melakukan operasi pasar
dibeberapa titik lokasi yang ternyata tidak cukup ampuh untuk mengatasi masalah
gejolak harga. Pemerintah secara institusional berwenang untuk mengatur harga
beras. Namun pengaturan tersebut masih dimonopoli oleh Bulog yang berfungsi
sebagai peyangga dan pengatur harga di pasaran. Buruknya infrastruktur,
termasuk pasokan listrik, belum mendapatkan sentuhan kebijakan yang memadai.
Padahal infrastruktur menjadi prasyarat
utama untuk kelancaran distribusi dan juga produksi sembako. Tingginya pungli
atau pungutan liar juga masih menjadi fenomena yang tak terelakkan. Perda-perda
bermasalah seharusnya sudah diperbaiki agar tidak menjadi benalu di sektor
usaha yang kemudian ditanggung oleh konsumen akhir (end user). Terkait
dengan persoalan perubahan cuaca dan iklim global, pemerintah idealnya melakukan
tindakan preventif untuk menyelamatkan kalangan petani. Selain itu pemerintah
harus mengedukasi dan memfasilitasi dengan kebijakan konkrit agar petani mampu
bercocok tanam secara ramah dengan perubahan iklim global.
Hal terpenting yang diperlukan untuk mengatasi masalah
kenaikan harga sembako adalah adanya komunikasi dan informasi antara
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Dengan adanya keterbukaan masing-masing
pihak menyebabkan setiap perubahan apapun akan disikapi secara baik. Perlu
proses dialog untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.
Pada kasus tidak seimbangnya permintaan dan penawaran barang
kebutuhan pokok di pasaran, logika ekonomi sederhana mengharuskan untuk
meningkatkan penawaran atau menekan permintaan. Tetapi untuk menekan permintaan
sangat sulit karena terkait dengan kebutuhan masyarakat yang bersifat primer.
Maka alternatifnya adalah meningkatkan penawaran. Namun, untuk meningkatkan
pasokan kebutuhan barang pokok seringkali didekati dengan solusi reaktif yang
instan, misalnya dengan menaikan impor. Jika ini yang terus dilakukan, maka
kebijakan tersebut tidak akan memberikan solusi yang komprehensif. Sehingga
diperlukan solusi yang cerdas dan komprehensif terhadap masalah penawaran.
Dalam konteks politik pengelolaan sembako, idealnya Bulog
tidak hanya meng-handle urusan beras. Berbagai komoditas lain yang
sangat strategis seharusnya juga berada di bawah kendali Bulog, misalnya telur
ayam, susu, dan minyak goreng. Sebagai contoh adalah negara Malaysia dan
Australia yang masih menjadikan sembilan bahan pokok di bawah kendali negara.
Bagaimanapun negara tidak boleh menyerah atau menyatakan bahwa fenomena
kenaikan harga kebutuhan pokok pada hari raya adalah domain market mechanism.
Negara harus turun tangan untuk meminimalisir perilaku pasar yang acap kali
tidak manusiawi, karena itu semua sudah menjadi tugas dan tanggungjawab negara
untuk menciptakan rasa aman, nyaman dan selamat bagi warga negaranya, termasuk
dalam urusan dapur.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Seharusnya
pemerintah lebih siap akan segala kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Tatanan
pemerintahan yang sudah ada sebelumnya mereka lupa atau kenapa terlihat hanya
semena-mana kepada rakyat kecil. Indonesia mungkin setelah ditinjau dari
beberapa aspek banyak kekurangan di berbagai bidang. Khusus nya tak usah
jauh-jauh bahan baku pangan yang terlampau jauh dari harga yang sebelumnya
menjadi bukti pemerintah harus meninjau ulang kebijakanya.
Keadaan
atau untuk kepentingan pribadi sekelompok orang dengan kenaikan BBM yg
seharusnya sudah dinaikan pada tanggal 1 April 2012. Tapi yang akhirnya ditunda
hanya saja laen lagi urusan dengan harga barang kebutuhan primer seperti
pangan. Harga jauh melonjak dari harga normal. Mungkin pemerintah bisa
mengembalikan harga sesuai harga normal yang semestinya. Ini dirasa berat bagi
masyarakat yang tergolong golongan kelas menengah ke bawah yang sangat
memberatkan beban yang meraka pikul.
Sebagai
pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan yang bijak untuk kembali menormalkan
harga pasar yang terus melonjak naik. Agar bisa kembali normal walaupun BBM tak
jadi dinaikan hanya tetap saja kebutuhan pokok yang terus naik.
Pemerintah
kini mungkin sudah lebih dewasa akan segala kebijakan. Mereka sekarang dituntut
agar bisa mensejahterakan rakyatnya agar tidak ada lagi kelaparan, pengangguran
sampai tidak kuat mental(stres). Jadikan lah Indonesia bumi pertiwi ini sebagai
Negara yang tentram bagaimana ini sudah dijelaskan dalam Pancasila dan UUD’45.
3.2 Saran
Secara
pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan atau kejanggalan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mulyono, Rubrik Pembaca Menulis,
Kompas Cybermedia, 20 April 2001.
Majalah Trend Data. Edisi Mei 2002.
Arya Yoga, Dampak Kenaikan Harga BBM.
2008. http://reincarbonated.multiply.com
· http://www.abdurrahmancenter.com/index.php/artikel/1241-kenaikan-harga-sembako- masalah-dan-solusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar